Kamis, 09 September 2010

His and Her Circumstances


Chapter XI : Can We Call This A Happy Ending? (His Circumstances)


Biip...Biip...Bunyi peralatan rumah sakit masih mendengung.
Terrant perlahan membuka matanya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti ditonjok beratus-ratus kali. Ia bangun dan melihat peralatan medis di seluruh tubuhnya menempel. Ketika ia menggerakkan badan berusaha melepaskan semua peralatan yang asing baginya itu, ia menyadari ia tak sendiri di ruangan itu. Sikutnya menyenggol sesuatu. Kepala seseorang yang berambut tampaknya.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, memperjelas penglihatannya, lalu melihat Renna sedang tertidur di pinggir ranjangnya dengan kepalanya ditelungkupkan dengan memiringkan salah satu pipinya  kedalam kedua tangannya yang disilangkan.
Tanpa sadar, Terrant memegang rambutnya. Mengingat. Berapa lamakah,  terakhir kali ia membelai rambut ini dengan lembut. Lalu, ia menyentuh pipi gadis yang telah diusirnya dari apartemennya itu. Berpikir, tampaknya. Berapa banyak air mata yang telah berlinang melewati pipi ini. Khususnya air mata yang disebabkan oleh dirinya.
Lalu, ia menarik tangannya dari tubuh gadisnya. Tak berani menyentuh lebih jauh. Atau ia hanya akan lebih menyakiti gadisnya yang masih sangat dicintainya itu. Begitu pikirnya. Ia tidak tahu, betapa penting dirinya bagi gadis yang kini kepalanya terbaring di tempat tidurnya di rumah sakit itu. Betapa penting dirinya hingga gadis itu rela menungguinya selama ia ada di rumah sakit.
Ia merasa sangat berdosa dan sangat tak pantas baginya menyentuh gadis yang suci itu. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ia berusaha menahan tangisnya tapi tak mampu. Ia menggenggam tangannya lebih keras, sampai-sampai tak sadar telapak tangannya berdarah. Air matanya terus mengalir. Ia tak bisa menahannya. Ia menangis tanpa suara. Tangisan yang keras sebenarnya. Tapi, tanpa suara. Bahunya bergerak naik turun dengan kencang sekali.
Air matanya jatuh ke pipi sang gadis yang tertidur di sisi tempat tidurnya. Dan, Renna pun terbangun,...terkejut. Ia melihat kekasih yang selama ini ditungguinya sudah sadar. Tanpa banyak bicara, ia bahkan tak sadar Terrant menangis, ia langsung memeluk Terrant. Sangat erat.
“Sa...yang” kata Terrant dengan suara begetar. “Ma~afkan akuu~...!”
Renna melepaskan pelukannya dan tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar